Jejak Langkah Pemilu Kita: Sebuah Kerangka Refleksi

Sembilan kali bangsa kita telah melalui pemilihan umum, terhitung semenjak 1955 sampai pada tahun 2004 yang lalu, dan selama itu pula bangsa dan negara ini mengalami jatuh bangun dalam proses tersebut. Seperti halnya apa yang ditulis Eep Saefulah Fatah, bahwasanya “Hampir semua sarjana politik sepakat bahwa pemilu merupakan kriteria penting untuk mengukur kadar demokrasi sebuah sistem politik”. Dengan landasan itu maka kita akan melihat seberapa besar kadar demokrasi dalam pemilu yang dijalankan di Indonesia.

Pemilu Di Era Bung Karno

Semenjak kemerdekaan negara ini pada 17 Agustus 1945, baru pada tahun ’55-lah pemilu dilangsungkan. Hal ini terkait dengan beberapa hal yang tidak memungkinkan. Pemilihan umum dilaksanakan sesegera mungkin setelah kemerdekaan dicapai. Pada masa awal pemerintahan Soekarno, pemilu yang diimpikan sebenarnya telah dicantumkan dalam Maklumat X (Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta) pada tanggal 3 Nopember 1945. Maklumat tersebut berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik, disebutkan pula pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan pada bulan Januari 1946. Namun sejarah mengatakan lain; beberapa kemelut dalam negeri yang muncul ke permukaan merupakan salah satu faktor penghambat dalam pelaksanaan pemilu sesuai dengan tempo yang telah ditentukan.

Selain faktor internal negara-bangsa tersebut, rongrongan duet negara kolonialis Belanda-Inggris di tahun-tahun revolusi fisik negeri ini juga menjadi faktor kegagalan pelaksanaan pemilu. Kemelut dalam negeri yang muncul secara hampir bersamaan tersebut didukung pula oleh ketidaksiapan pemerintah baru, termasuk penyusunan perangkat UU Pemilu.

Kemelut yang terjadi di dalam negeri tidak serta merta membuat pembahasan UU mengenai pemilu ini berhenti. Sebagai catatan, produk hukum berupa UU No. 27 mengenai pemilu di tahun 1948 lahir, menyusul dengan penetapan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR.

Hingga tahun 1953 di masa pemerintahan Wilopo, UU mengenai pemilu kembali dibahas dan ditetapkan, yang kemudian melahirkan UU No.7 Tahun 1953 untuk pemilihan anggota DPR dan Konstituante; masing-masing suara yang diperebutkan ialah : 260 dan 520 ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. UU ini yang kemudian menjadi payung hukum pemilu di tahun 1955. Pemilihan umum yang ditetapakan dalam UU tersebut ialah pemilu yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Sistem ini merupakan cikal bakal prinsip pemilihan umum untuk era-era selanjutnya, termasuk di era Reformasi saat ini.

Dengan ditetapkannya UU No. 7 di atas, penyelenggaraan pemilu di tahun 1955 akhirnya dapat berlangsung dengan beberapa partai politik yang muncul sebagai kontestan pemilu pertama di Indonesia. Keragaman partai-partai ini merupakan cerminan sistem politik pada masa itu yang menerapkan sistem parlementarian; masing-masing kelompok bebas menyalurkan aspirasi politik dan ideologinya lewat partai.

Hal di atas dapat dilihat dari keikutsertaan partai politik, organisasi, golongan dan perseorangan di tahun tersebut yang mencapai angka 118. Angka ini merupakan suatu prestasi tersendiri bagi bangsa Indonesia yang tidak memiliki pengalaman berdemokrasi sebelumnya. Pemilihan umum di tahun 1955 dinilai banyak kalangan merupakan pemilu yang gemilang. Dengan berbagai aliran politik yang muncul, keamanan selama pemilu berlangsung tetap terjaga. Di samping itu, terdapat penilaian bahwa pemilu tahun 1955 merupakan pemilu paling demokratis yang pernah terselenggara di Indonesia.

Salah satu penilaian positif atas pelaksanaan pemilu 1955 dilontarkan oleh Dr. Alfian. Dalam “Pemilihan Umum dan Prospek Demokrasi di Indonesia,” (dalam Demokrasi dan Proses Politik, Jakarta, LP3ES), ia berpendapat, “Dari segi pelaksanaannya, pemilu dapat dikatakan berjalan dengan bersih dan jujur, dan oleh karena itu suara yang diberikan anggota masyarakat mencerminkan aspirasi dan kehendak politik mereka”.

Demokrasi Ala Orde Baru

Jatuhnya kekuasaan Soekarno di tahun 1969 merupakan babakan baru bagi iklim demokrasi Indonesia pada masa itu yang begitu khas, yakni Demokrasi Ala Orde Baru. Sesuatu yang khas hemat penulis, karena sistem yang dibangun benar-benar memilki perbedaan sangat menonjol dengan sistem sebelumnya, khususnya mengenai pemilihan umum, termasuk sistem kepartaian, dan ideologi di dalamnya.

Berdemokrasi di pemilihan umum dalam kacamata Orde Baru merupakan wahana mobilitas suara oleh aparatur sipil maupun militer dalam hal partisipasi politik terhadap rakyat demi melanggengkan kekuasaan pada sentrum kekuasaan, yakni presiden. Dengan demikian pemilu-pemilu di masa Orde Baru merupakan kerja jejaring kekuasaan di tingkatan birokrasi pemerintahan, terutama oleh kalangan militer, dalam rangka pemenangan suara mutlak bagi pemimpin Orde.

Dalam studinya, Todung Mulya Lubis meyimpulkan bahwa besarnya peranan negara dalam mengintervensi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi; kooptasi negara terhadap berbagai kekuatan kemasyarakatan; kooptasi negara terhadap ekonomi dan politik negara secara ketat, telah mengkonstruksikan keadaan yang langsung mempengaruhi tumbuhnya partisipasi politik semu (pseudo participation) dan tidak berkembangnya partisipasi efektif. Dengan demikian sistem yang dibangun oleh Orde Baru benar-benar bersandar pada “status quo” kekuasaan politis yang elitis , jauh dari nilai-niai demokratis yang sifatnya lebih pada partispasi otonom bagi rakyat.

Sistem-sistem yang tidak demokratis tersebut tidak hanya berhenti pada sistem pemilihan umum yang terjadi namun merambah pula pada proses uniformisasi kepartaian dan ideologi yang dipakai sebagai landasan perjuangannya (walaupun pada pemilu tahun 1971 proses ini belum berlangsung);  hanya tiga partai saja yang muncul sebagai unifikasi golongan-golongan terhadap rakyat Indonesia. Dengan penggolongan ini Orde tentunya akan lebih mudah memobilisasi suara rakyat yang hanya terkonsentrasi pada tiga golongna saja.

Pada akhirnya peggolongan ini, sekitar tahun 80-an, mulai mengalami kritik dari beberapa kalangan masyarakat, tokoh agama, termasuk mahasiswa, karena pemasungan kebebeasan untuk berpolitik tidak lagi dapat tersalurkan melalui tiga partai yang ditetapkan pemerintah di samping penetapan ideologi Pancasila sebagai satu-satunya asas yang harus dianut pada masa Orde Baru berkuasa, sehingga ideologi Pancasila kemudian mengalami bias nilai yang sarat atas kepentingan politik Orba pada masa itu. Walaupun pada akhirya usaha ini hanya berhenti pada tataran impian semata, karena sang Orde tak ingin bergeming di puncak kekuasaannya.

Demokrasi Untuk 2009

Dalam perjalanan reformasi yang sudah berlangsung selama sebelas tahun ini, sudah sepantasnya jika iklim demokrasi Indonesia mengalami rasionalisasinya kembali dalam melihat kebutuhan rakyat atas struktur dan kultur pemerintahan dan masyarakat yang lebih sehat. Proses perubahan struktur harus menjadi jaminan atas perbaikan sistem kelola pemerintahan yang bebas dari peluang terhadap penyelewengan kekuasaan yang berujung pada budaya Korupasi, Kolusi, Nepotisme atau menjadi diktator.

Sedangkan pada tingkatan kultur, pembenahan mengenai tabiat berdemokrasi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari pembenahan struktur, namun harus dijalankan secara berbarengan demi mencapai masyarakat dewasa dalam kehidupan demokrasi mendatang. Sehingga catatan gemilang Pemilu tahun 1955 dapat kita rengkuh sebagai kenyataan bukan hanya romantisme sejarah belaka.

Oleh: Dwipa Nusantara Jahja (Ilmu Budaya 2005)

Tinggalkan komentar